November 17, 2011

Father and Son



{Sequel fr Miss You So Much}




Add caption




TEEEEEEEEEEETTTTTTTT!!!!


Bel sekolah berbunyi dengan nyaringnya. Hampir seluruh isi sekolah bersiap kembali pulang.


Sekolah hari ini pun usai...


"Ayaah..." suara lantang seorang bocah lelaki memanggil seorang pria yang berdiri bersandar di sebuah tiang di depan sekolah bocah itu.


Dengan senyumnya yang tulus, pria itu merentangkan kedua tangannya dan...


Kin....


HEEEPP!!!


Bocah itu pun masuk dalam dekapannya. Wajah keduanya begitu bahagia. Pria itu memutarkan sedikit badannya dan mengayunkan putra kesayangannya tersebut.


Pria itu menggendong putra kesayangannya itu hingga masuk ke dalam mobil.


"Nah, sekarang duduklah dengan manis, oke" kata sang ayah.


"Okeeyy!" sahut sang anak semangat.


Ditemani alunan lagu R&B, mobil melaju dengan kecepatan sedang. Si anak cukup hafal dengan lagu-lagu tersebut. Sekali-kali dia bersorak dan menggoyangkan tubuhnya lalu menyenggol lengan sang ayah yang sedang menyetir.


"Hey..hey, jangan seperti itu Kin!" ujar sang ayah kaget.


"Hahaha..." Kin tertawa riang melihat wajah ayahnya yang sedikit panik karena ulahnya.


Dengan lembut, sang ayah mengacak-ngacak rambut Kin...


"Anak nakal...awas yaa" ujar sang ayah setengah merajuk.


Keduanya pun terbahak berbarengan...


"Apa kau lapar, Kin?" tanya sang ayah kemudian.


"Hhmm...yup! Very hungry, Dad!" jawabnya tegas.


"Tenang, ayah sudah membuatkan resep special untukmu hari ini" kata sang ayah bangga.


Mata Kin mendelik senang...


"Benarkah? Asyikk. Ayo kebut lagi, yah! Aku sudah tak sabar" kata Kin lebih semangat.


Beberapa menit kemudian, mobil itu memasuki sebuah rumah mewah di tengah kota Tokyo. Jelas-jelas terpampang siapa pemilik rumah megah yang berdiri kokoh tersebut.


'KEDIAMAN HAYAMI'


BLLAAMM!!!


Kin berlari keluar tanpa menunggu sang ayah. Dia berlari masuk sambil mengucapkan salamnya dengan sangat lantang.


"AKU PULAAANG!!"


"NENEK....KAKEKK....PAMAN!!!" panggilnya untuk seisi rumah.


Dengan senyum bangga, Eisuke menunggu cucu kesayangannya di ruang keluarga.


"Kau sudah pulang, jagoan?" sapa Eisuke dengan penuh kasih sayang.


Kin mengangguk sembari menyalami kakeknya, neneknya dan pamannya.


"Ayo! Aku sudah lapar!" kata Kin sambil berlalu dan setengah berlari menuju ruang makan. 


Begitu pula dengan kakek dan neneknya yang tak lain adalah Mrs.Carol. Juga paman dari Kin sendiri. Mereka bertiga mengikuti kemana bocah kecil itu melangkah.


Kin menjadi satu-satunya penghibur hati seluruh penghuni rumah megah itu. Sejak Maya pergi, bertahun lamanya, mereka dirundung oleh kesunyian dan kehampaan.


Tak terasa bayi mungil itu menjelma menjadi pangeran yang sangat pandai dan sangat aktif. 


Kini Kin telah berumur 6 tahun. Pangeran kecil itu terlihat sangat tampan dan lincah. Walau dia dibesarkan tanpa kasih sayang seorang ibu, namun kasih sayang kakek, nenek, paman dan tentu ayahnya sudah sangat melengkapi ketiadaan sang ibu.


Walau demikian pertumbuhan Kin sangat pesat dibanding anak-anak seumurnya. Badannya yang tinggi dan badannya yang berisi, membuat pipinya sedikit tembem. Sehingga orang sering gemas ingin mencubitnya.


Sedikit demi sedikit kesedihan di kediaman tersebut memudar dengan celoteh dan teriakan suara keras dari Kin.


Walau dalam hati masing-masing pasti menyimpan kepedihan bila melihatnya. Kin hidup tanpa seorang ibu. Hingga saat ini tak ada kabar dari Maya. Semua usaha pencarian telah dilakukan oleh Eisuke, Masumi dan Peter.


Hingga akhirnya mereka pasrah!


Yang terpenting saat ini adalah membahagiakan Kin, melengkapi segala kekurangan yang dimiliki keluarganya. Membuatnya bangga pada sang ibu yang entah dimana rimbanya.


Kin Hayami!!!


"Cucuku..." gumam sang kakek sambil tak bosan menatap pangeran kecil itu yang sedang menyantap makan siangnya dengan cepat.


"Pelan-pelan Kin, jangan terburu seperti itu" kata sang ayah khawatir putranya tersedak.


"Mmm...yummmy!" kata Kin dengan makanan yang sedikit belepotan di sekitar mulutnya.


"Hahaha...." tawa sang kakek terdengar menggema di ruangan tersebut.


"Hahahaha" tawa pun merebak dari ayah, paman dan neneknya. Juga beberapa pelayan yang ada di sana.


Kin...Kin...
Putraku...
Anak yang sangat energik...
Penyejuk rumah ini...
Penyejuk hatiku...
Pengobat rinduku padamu...


Maya...




*****



Kediaman Hayami...

Saat menjelang malam, di sebuah balkon, tampak berdiri seorang pria yang masih keliatan garis-garis ketampanan walau usianya tak bisa dikatakan muda lagi.

Tatapannya lurus ke depan. Mata itu begitu kesepian. Di usianya yang hampir 40 tahun, dia masih sendiri. Sepertinya dia benar-benar merindukan seseorang yang kini entah berada dimana. Rindu itu tak pernah terbalas sampai sekarang.

Hanya sebuah photo yang selalu dibawa kemanapun dia pergi sebagai pelepas rindunya. Terkadang airmata itu menetes tiba-tiba. Di kala terbangun dari tidur, di kala menjalani hari-harinya juga ketika malam sebelum terlelap.

Masih terbayang wajah wanita yang sangat dicintainya, belahan jiwanya yang telah pergi meninggalkannya begitu saja. Tanpa pesan, tanpa berita.

Pria itu masih terus menanti...
Terus menanti...

Dalam lamunan terus membubung tinggi, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk seseorang...

Tok...tok...tok...

"Pamaaan...pamaaan....paman Masumiii" panggil Kin dengan suaranya yang menggemaskan.

Pria itu berbalik menatap pintu kamarnya!

Wajahnya tersenyum dan kakinya melangkah mendekati pintu...

CKLEK!!

"Kiinn..." sahutnya dengan senyum lebarnya pada ponakan kesayangannya.

Beberapa detik keduanya saling tatap hangat...

"Apa aku mengganggumu?" tanya Kin manja.

Pria itu membungkukkan tubuh jangkungnya dan mendekati wajah Kin yang imut.

"Tidak Kin, aku senang kau mengunjungi kamarku? Masuklah!" jawabnya sayang.

Kin langsung berlari masuk dan menghempaskan tubuhnya di tempat tidur pria tersebut.

"Paman, apa aku boleh tidur bersamamu malam ini?" 

Mata pria itu mendelik kaget dengan pertanyaan Kin...

"Mengapa kau menanyakannya Kin? Sejak kau masih bayi, kau sering tidur di kamarku, bukan?" goda pria itu sambil menggelitik pinggang keponakannya tersebut.

"Hihihi...hehe...hahaha..." terdengar suara Kin mulai geli dengan gelitikan pamannya.

Masumi pun dengan penuh kasih sayang mendekap Kin dengan erat. Dia sangat menyayangi Kin. Sangat...


Kin...


Kau mengingatkanku padanya...
Matamu...suaramu yang begitu lantang...
Cara berjalanmu...
Semuanya...
Semuanya sangat mirip denganmu...


Mungiiill....

Masumi mengeratkan dekapannya pada Kin. Dengan sangat lembut dia belai rambut Kin yang tebal. 


Tiba-tiba...


"Paman...apa kau pernah bertemu dan mengenal ibuku?" tanya Kin mengejutkan Masumi.


Wajah Masumi seketika tegang dan pucat. Dia bingung harus bagaimana menjawab pertanyaan dari bocah kecil di hadapannya itu.


"Ng...ng...itu...tentu saja paman mengenalnya" 


Kin pun tambah serius dan bergerak lebih dekat menatap Masumi. Dengan wajahnya yang tembem dan matanya yang melotot, dia memaksa Masumi untuk bercerita banyak tentang ibunya.


"Paman, ayo ceritakan tentang ibu....sedikiiiiiitt sajja! Karena ayah tak mau menceritakannya padaku...dan dia selalu menangis bila kutanyakan ituu..." gerutunya lirih memelas dengan tangan memohon pada Masumi.


Masumi menatap Kin dalam, ada kenangan yang sangat ingin dia ungkapkan pada bocah itu, namun Masumi sadar, Kin tidak boleh tahu kalau antara dirinya dan ibunya pernah ada cerita. Bahkan Kin tidak boleh tahu bahwa cerita itulah yang akhirnya menyebabkan kepergian ibunya.


Masumi menggeleng pelan...


Lalu menggenggam jemari Kin...


"Kin...paman mengenal ibumu, dia wanita yang sangat baik dan hebat...dia juga...sangat berarti..." ucapan itu terputus, tanpa Masumi sadari airmatanya mengalir.


Buru-buru Masumi menghapus pipinya yang basah. Kin menatapnya heran. Namun dalam hatinya, Kin mengerti bahwa pamannya mungkin sangat menyayangi ibunya.


"Apa paman sangat menyayangi ibuku?"


Masumi semakin kikuk dengan pertanyaan Kin yang sepertinya mulai mengerti akan isi hatinya. 


"Kiiinn..." Masumi mencoba memburamkan semua pertanyaan Kin.


"Mengapa paman menangis? Seperti ayah saja!" katanya tajam menusuk Masumi.


Masumi terhenyak dengan perkataan Kin yang mengatakan bahwa dirinya sama seperti Peter, ayahnya. Selalu menangis kala dia menanyakan ibunya.


Peter...
Aku tahu bebanmu...
Maafkan aku...


"Tidak...paman tidak menangis, hanya kemasukan bulu mata saja" Masumi beralasan.


Masumi mencoba mengelak dari semua keingintahuan Kin dengan memberikan beberapa cerita anak yang disukai Kin. Hingga Kin tertidur lelap di dalam dekapannya.


Masumi menghentikan ceritanya saat suara Kin tak terdengar protes lagi. Perlahan dia pindahkan posisi tidur Kin. Memberinya selimut dan mengecup keningnya.


Masumi lama memandangi wajah Kin...


"Aku sangat menyayangimu, Kin" gumamnya dengan senyuman.



*****


Masih dalam ingatan yang selalu menanti wanita yang teramat dicintai, Peter tampak menyendiri termenung di pekarangan rumah. Sebersit khayalan hadir mengiringi langkahnya menyusuri pekarangan tersebut.


Maya, kau ada dimana?
Apakah kau tidak merindukan Kin?
Anak kita sudah besar...
Kin sudah sangat pandai...


Maya...
Dia tidak tahu apa-apa...
Dia tidak seharusnya mengalami ini...
Kin membutuhkanmu...
Sangat membutuhkanmu...


Pulanglah...
Kembalilah!
Berapa lama lagi harus seperti ini?


Kasihan Kin...anak kita...
Kasihan...


Peter pun menangis di sebuah bangku dimana kenangan bersama Maya ada disana. Perlahan dia meraba bangku itu dengan jemarinya. Mengusapnya lembut merasakan seolah Maya sedang duduk di sisinya.


"Maya, I miss you so much" isaknya tersedu-sedu.


Miss you...


Very much...




*****


Pagi yang sangat cerah...


Seorang pelayan sedang menyiapkan sarapan untuk keluarga Hayami. 


Terdengar suara bel berbunyi. Rupanya ada tamu sepagi itu berkunjung ke kediaman tersebut. Dengan gesit pelayan yang lain berlari membukakan pintu depan.


"Selamat pagi" sapa pelayan itu sopan.


"Pagi, maaf apa benar ini kediaman Kin Hayami?" sahut tamu tersebut kemudian.


Pelayan itu sejenak kaget dengan nama yang disebut oleh tamu yang berseragam kurir tersebut.


"Iiya, benar. Ada apa ya?" tanya pelayan penasaran.


Kemudian kurir itu memberikan sebuah bingkisan berbungkus kado yang bergambarkan spiderman dengan pita perak di ujung kirinya.


"Ada bingkisan untuk Kin Hayami. Silahkan tanda tangani disini" kata kurir itu sambil menunjuk sebuah tanda terima yang harus ditanda-tangani oleh pelayan tadi.


Setelah ditandatangani, kurir tersebut pamit begitu saja...


"Terimakasih" ujar pelayan itu setengah berteriak.


Dengan mata yang tak percaya, pelayan itu memperhatikan dengan seksama bingkisan berukuran 30x30cm di tangannya.


"Untuk Kin? Dari siapa ya?" gumamnya penasaran.


Namun setelah dibolak-balik, nama pengirim tak jua ditemukan. Dengan semangat pelayan itu berlari menemui tuan Eisuke yang tengah membaca surat kabar di ruang keluarga.


"Permisi tuan" sapanya sopan dengan badan yang setengah membungkuk.


"Hhhmm...ada apa?" 


"Ini...ada seorang kurir yang mengantarkannya barusan" jawab pelayan itu sambil menyerahkan bingkisan tadi.


Eisuke tak meresponnya, dia melanjutkan membacanya...


"Tapi tuan, ini untuk tuan muda Kin" kata pelayan gugup.


Mendengar nama Kin, Eisuke menghentikan aktifitas bacanya dan menatap tajam ke bingkisan tadi yang berada di meja.


"Apa kau bilang?!" tanya Eisuke sambil terus memandangi bingkisan itu tak percaya.


"Untuk Kin? Dari siapa?" Eisuke mulai penasaran.


Mata dan tangannya mulai melihat dan membolak-balikkan bingkisan itu.


"Tidak ada nama pengirimnya!" katanya dingin.


Maya...
Apakah ini darimu?


Eisuke termenung sambil memandangi bingkisan di hadapannya. Penasaran siapa pengirim dari bingkisan tersebut.


Namun hati kecilnya mengatakan bahwa si pengirim adalah orang yang sangat mengenal Kin. Tidak ada seorangpun yang begitu tahu dengan Kin Hayami di luar sana kecuali Maya Kitajima, sang ibu kandung dari Kin sendiri.


Aku tahu itu pasti kau...
Naluri keibuanmu berbicara setelah sekian lama...
Pulanglah Maya...


Kin membutuhkanmu...
Cucuku membutuhkanmu...
Maya...
Bahagiakan dia...




*****




TEEEEEEEEEEEETTTTTTT!!!!

Bel sekolah Kin baru saja berbunyi. Dari setiap kelas mulai berhamburan semua murid. Wajah-wajah yang masih terlihat polos dengan berbagai sifat. Ada yang tampak penakut, cengeng, manja dan juga berani.

Kin termasuk anak yang sangat berani dan aktif. Hampir seluruh teman mengenalnya. Selain itu Kin juga sangat ramah dan sangat dewasa dibanding dengan teman seumurannya.

Entah mengapa Kin sangat mirip dengan Masumi. Sifat keduanya terkadang membuat Eisuke beranggapan bahwa Kin adalah putra kandung Masumi. Berbeda dengan Peter yang sangat penyabar dan rendah hati. Peter juga termasuk orang yang sangat perasa dan sedikit sensitif.

Dan saat ini Kin tengah keluar dari kelasnya. Matanya mulai mencari sosok pria yang selalu menjemputnya. Peter!

Namun sampai kakinya mendekati gerbang pagar sekolah, sosok Peter tak jua ia temukan. Seorang guru menghampirinya dan menyuruh Kin untuk menunggu di dalam sekolah. Kin menunduk lesu dan termenung di deretan bangku depan ruang guru.

Matanya masih saja berkelana mencari sosok Peter di antara orang yang berlalu lalang di sana.

"Hhuuuuffftthh...tak biasanya ayah terlambat" gumamnya sedih.

Kin terus menunduk...

Saat-saat seperti itu terkadang hatinya merindukan sosok wanita yang bisa dipanggilnya 'ibu'. Kin menatapi temannya yang dengan sangat bahagia memperkenalkan sang ibu kepadanya. Anak 6 tahun itu mulai merasa kesepian. Waktu berlalu hampir 30 menit. Kin masih menunggu di sana.

Namun baginya waktu seolah berjalan sangat lama dalam kesendirian. Kin mencoba menggerakkan kakinya melangkah ke kanan dan ke kiri. Berjalan dari ujung sekolah ke ujung satunya lagi.

Lagi-lagi matanya memandang ke arah gerbang sekolah. Berharap seseorang yang dikenalnya berdiri dan melambaikan tangan padanya. Namun semuanya hanya khayalan sesaatnya. Kin mendesah panjang lagi.

"Aaayaaah..." desisnya lirih.

Anak itu mulai letih menunggu. Kemudian dia mencoba memainkan beberapa mainan yang ada di pekarangan sekolah. Berayun dengan kedua kakinya, berjungkat-jungkit sendiri dan menaiki sebuah sepeda beroda tiga mengitari halaman sekolah.

TIBA-TIBA!!!

"Kiinn..." sebuah suara menyapanya dari gerbang sekolah.

Sontak mata Kin menoleh dengan cepat!

"Paman Masumiii!!!" teriaknya senang.

Anak itu berlari dan berlari ke pelukan Masumi.

"HEEEPPP!!!" 

Kin mendekap Masumi erat, sangat erat. Masumi sedikit heran dengan sikap Kin yang tak seperti biasanya. Kin tampak bersedih!

"Heey...jagoan! Ada apa?" tanya Masumi sambil menurunkan Kin dan menatap wajah sedih anak itu.

Kin menatap Masumi dalam...

Masumi memandangi Kin dengan seksama. Takut ada sesuatu yang membuatnya bersedih seperti itu. Perlahan Masumi mengusap beberapa butir airmata yang ada di pipi Kin.

Dia menangis...

Ada apa?

"Kenapa Kin? Apa paman terlalu lama menjemputmu?"

Kin terdiam, dia hanya menggelengkan kepalanya dan menunduk kembali.

Masumi mengangkat wajah Kin perlahan dan mendekatkan wajahnya ke wajah Kin. Lebih dekat...

Namun Kin sepertinya tidak ingin diselidik lebih dalam. Dia pun kembali mendekap Masumi erat.
Masumi menepuk punggungnya dan mengusapnya lembut.

"Kita pulang yuk!" ajak Masumi dan menggendong Kin.

Setelah pamit pada guru yang ada, Masumi menjelaskan bahwa Peter sedang sangat sibuk di luar kota. Jadi tidak bisa menjemput Kin seperti biasa. Dalam beberapa waktu ke depan, mungkin dirinyalah yang akan menjemput Kin sepulang sekolah.

Guru itu pun memaklumi...

*****

Sepanjang perjalanan Kin lebih banyak diam. Tatapannya jauh menerawang keluar jendela. Masumi pun menjadi sedih karena itu.

Kiiin...

"Kiin, apa kau mau makan siang di luar bersamaku?" tanya Masumi memecah kesunyian.

Kin menggeleng...

"Paman akan mengajakmu ke tempat yang sangat istimewa" kata Masumi kemudian.

Tapi Kin masih membisu...

Masumi mencari akal lagi untuk tetap menghibur ponakan semata wayangnya tersebut.

"AAAAHH....Paman tahu! Besok sekolah libur bukan? Bagaimana jika kau ikut paman ke suatu tempat. Pasti Kin suka di sana!" usul Masumi semangat.

Kin menoleh dengan mata yang sedikit penasaran. Masumi pun tambah semangat menceritakan apa saja yang akan terus membuat Kin menoleh ke arahnya.

Akhirnya!!!

Kin pun tersenyum dan menganggukkan kepalanya...

Masumi pun meminta Kin untuk toast dengan telapak tangannya...

"TOOAASSTT" teriak Masumi menyemangati Kin.

Anak itu tertawa kecil melihat tingkah pamannya yang berteriak-teriak sedari tadi.

Lama-lama tertawa itu melebar hingga terdengar keduanya terbahak-bahak gembira.

Masumi merasa lega sudah berhasil membuat wajah Kin kembali ceria. 

Kin...
Kau harus selalu tersenyum...
Kin...
Kau harus terus memberikan semangat...
Untukku dan ayahmu...

Juga untuk kakek dan nenekmu...

Semua membutuhkanmu Kin...
Membutuhkan senyuman polosmu...
Kehangatan celotehmu...
Segalanya di dirimu...

Mempersatukan kami...


*****



Sejak kemarin sore Kin terlihat banyak bertanya kemana Masumi akan membawanya. Sebuah bingkisan yang dikirimkan untuknya pun tak menarik perhatiannya.

Eisuke membiarkan itu...

"Kin apa kau tidak ingin membuka bingkisan itu?" tanya Eisuke untuk terakhir kalinya.

Kin menatap kakeknya lekat-lekat. Seakan tak suka bila dipaksa melakukan apa yang dikehendaki sang kakek.

Eisuke tersenyum dan memberi isyarat agar cucunya itu mendekat ke tempatnya duduk.

Dengan wajah dan bibir yang bersungut, Kin mendekati Eisuke. Eisuke menariknya perlahan dan mendudukkan Kin di sampingnya.

"Kiiin...kakek hanya ingin agar kau selalu merasa senang. Dan sepertinya orang yang memberimu bingkisan ini pun demikian. Jadi kau harus menghargai pemberiannya" ujar Eisuke sambil membelai rambut Kin yang lebat.

Kin menganggukkan kepalanya sambil meraih bingkisan itu ke dalam pangkuannya.

"Kek, bolehkah aku membukanya di kamarku?" tanya Kin serius.

Eisuke pun menganggukkan kepalanya dengan senyuman tulusnya...

"TERIMAKASIH KEK!!!" teriak Kin sambil berlari menuju kamarnya dengan membawa bingkisan itu.

BBLLAAMM!!!

Kin tak sengaja membanting pintu kamarnya kuat-kuat. Bocah itu menjadi sangat ingin melihat apa isi bingkisan tersebut. Eisuke memberinya sedikit nasehat yang sangat menggugah hati bocah 6 tahun tersebut.

Saat ini jemari mungil Kin mulai membuka perlahan bungkus kado yang membalut kotak bingkisan, dengan sangat hati-hati dia melepas satu persatu solasi yang menempel.

"Aaah..." gumamnya lega saat semua bungkus kado telah terlepas.

Dengan mata yang berbinar, Kin mulai membuka kotak berukuran 30x30cm tersebut.

DEG!!!

DAN...

Kin tercengang kaku melihat isi dari dalam kotak tersebut. Matanya seperti melihat sesuatu yang benar-benar membuatnya takjub dan sangat bahagia.

Perlahan Kin meraih isi dari kotak tadi...

Sebuah photo siluet yang dibingkai dengan sangat rapi. Kin menelaah lebih dalam siluet tersebut...

"Seorang ayah, seorang anak lelaki dan seorang ibu" gumamnya penasaran.

Kin menyilangkan kakinya serius. Kemudian dia meraih isi kotak yang lain.

Sepasang baju kaos bergambarkan siluet sebuah keluarga kecil seperti photo siluet sebelumnya...

"Waaw...aku suka warnanya" kata Kin sebelum matanya menangkap isi yang tersisa dari kotak tersebut.

Dengan cepat tangannya meraihnya...

Sebuah surat...

"Surat? Untukku?" desisnya heran.

Sesaat matanya seperti berpikir siapa orang yang telah memberinya bingkisan itu. Lengkap dengan surat yang membuatnya semakin ingin tahu...

Kin membuka amplop dari surat tersebut...

Lalu perlahan membuka lipatan kertas surat tersebut...



Untuk Yang Tersayang..
Kin Pierson Hayami


Anakku, bagaimana keadaanmu?
Maafkan selama ini ibu tak ada di sisimu...
Sebelumnya ibu sangat takut menulis ini...
Ibu khawatir bila kau akan menolaknya...
Karena kau pantas untuk melakukan itu...
Tapi...


Kiiiiiiiinnn...Ibu sangat merindukanmu...
Mungkin rindu ini tak akan pernah tersampaikan...
Betapa ingin ibu mendekap tubuh mungilmu...
Betapa ingin ibu menatap wajah polosmu, nak...


Kiiiiiiiiiinnnn...ibu sangat ingin menyentuh jemarimu...
Membawamu mengelilingi dunia ini...
Merasakan sejuknya udara pagi...
Membuatmu hangat di kala kau kedinginan di malam hari...


Kiiiiiiinnn...Tetaplah tersenyum...
Tumbuhlah menjadi anak yang membuat semua orang bahagia...
Suatu hari nanti kau akan mengerti semuanya...
Mengerti akan segala hal yang membuat ibu jauh darimu...


Kiiiiiiiiinnnn...ibu sangat merindukanmu...
Sangat...dan sangat...terlalu...merindukanmu...
Hingga ibu beranikan diri memberimu bingkisan ini...


Kin, ibu ingin kau mengerti...
Ibu harus tetap bertahan dan menjalaninya...
Tanpa dirimu...
Tanpa siapapun dan apapun yang ibu kasihi...
Di dunia ini...


Percayalah Kin... 
bahwa ibu akan selalu melihatmu dari jauh...
Jadilah Kin yang kuat dan tangguh...


Kin...ibu menyayangimu...
Sangaaaat menyayangimu...
Anakku...




peluk cium untukmu Kin...
'Ibu'





Kin terduduk kaku menatap lembaran kertas yang masih ada di kedua jemarinya. Tatapan mata itu begitu pilu, dari kedua matanya terlihat airmata yang mulai terbendung yang mungkin akan segera jatuh membasahi pipinya yang mulus.

Bocah 6 tahun itu menerawang entah kemana. Mata itu kosong! Perasaan sendiri dan kesepian seolah menjelma setelah sekian lama tanpa belaian seorang ibu.

Kata 'Ibu' yang tertulis dari si pengirim bingkisan itu menguatkan angannya bahwa selama ini, wanita yang melahirkannya tersebut masih hidup walau tak diketahui keberadaannya.

Dan kini airmata itu menetes!

Kin menangis!

Sambil terus memandangi surat itu, Kin memanggil 'ibu' nya...

"Iiibuuu..." gumamnya lirih.

"Ibu memberiku ini?" tanya Kin sendiri sambil mendekap kotak bingkisan itu erat.

Mendekap kotak itu dengan sangat erat dan lekat di dadanya...

Kin menangis tersedu-sedu...

"Ibuuuu...ibuuu...ibuu...IBUUUUUUUUUUUU" teriaknya sangat keras.

"IBUUUUUUUUUUUUUUUU!!!!!!!!" Kin berteriak lebih keras lagi.

Rupanya teriakan itu terdengar sampai ke teras dan ruangan lainnya. Sontak seisi rumah berlari menghambur menuju kamar Kin.


BBRRAAAAKKK!!!


"KIIIIINNN...." teriak Eisuke panik masuk ke dalam kamar cucunya.


Diikuti semua yang ada di rumah, terkecuali Peter dan Masumi, teriakan anak 6 tahun itu begitu mengiris hati yang mendengarnya.


Betapa terkejutnya Eisuke saat mendapati cucunya sedang terduduk lemah di lantai. Kakek tua itu yakin dan sudah bisa menebak dari siapa bingkisan tersebut sebelumnya. Namun dia tak menyangka akan membuat Kin menjadi seperti itu.


"KIIIIINNN!!!" Eisuke langsung mendekap tubuh Kin yang begitu lemas tak bertenaga.


KIN SHOCK!!!


Seorang pelayan mengangkat Kin dan membaringkannya ke tempat tidur. Eisuke langsung menyuruh Asa untuk menghubungi dokter keluarga.


Dengan sigap Asa langsung menghubungi dokter tersebut...


Sementara Eisuke terus memandangi cucunya khawatir. Wajah seorang kakek yang benar-benar sangat menyayangi cucu semata wayangnya sembari mengusap kening Kin lembut...


Kin masih terdiam dengan mata yang menatap lurus ke arah langit-langit kamarnya sembari terus memeluk kotak bingkisan tadi...


Eisuke berusaha melepaskan kotak itu dari pelukan Kin, namun Kin begitu kuat mendekapnya dan semakin kuat...


"Kiiin, bolehkah kakek melihat isi kotak ini?" tanya Eisuke membujuk cucunya.


Kin menggeleng pelan...


Kemudian...


TIBA-TIBA!!!


"Kek, apakah kakek tahu dimana ibuku berada?" tanya Kin mengejutkan.


Eisuke baru saja akan menjawab, ketika Kin bertanya lagi...


"Mengapa ibu pergi dan meninggalkanku?" 


Semua yang ada di sana saling pandang bingung harus bagaimana menjawab pertanyaan dari Kin...


Masih dalam kebingungan, lagi-lagi Kin bertanya:


"Apakah ibu tidak menyayangiku? Bagaimana dengan ayah? Mengapa ayah membiarkan ibu pergi?"


"Apakah ibu tidak menyayangi ayah?"


Kin terus saja bertanya hal-hal yang membuat semuanya semakin sedih dan sangat cemas dengan kesehatannya.


Eisuke mencoba menenangkan cucunya dengan sabar...


"Kiiin, suatu hari nanti kau akan mengerti. Mengapa ibumu pergi meninggalkan kita semua" ujar Eisuke terharu.


Perlahan airmata kakek itu menetes, dia tak dapat menahan kesedihannya melihat raut wajah cucunya yang begitu terpukul dan sangat sedih.


Kiiiiinnn....


Perlahan Eisuke memindahkan kotak yang ada di atas dada Kin. Kin melepasnya ragu. Eisuke memberinya senyuman meyakinkan hingga membuat Kin mau melepaskan kotak itu.


Eisuke meletakkannya di tepi tempat tidur...


"Kiiin...kau adalah anak yang hebat. Aku sangat bangga padamu. Nenekmu, ayahmu, pamanmu dan semua yang ada di rumah ini sangat membanggakan dirimu, nak!" terang Eisuke lembut.


Kin menatap kakeknya lekat...


"Kakeeeekk..." desis Kin sembari bengkit dan memeluk sang kakek.


Keduanya berpelukan erat. Beberapa pelayan tampak menghapus airmata yang tak terasa menetes dari mata masing-masing.


"Percayalah Kiin, semua orang menyayangimu, bahkan ibumu juga pasti sangat menyayangimu dan sangat merindukanmu, nak!" kata Eisuke hangat.


Kin mengangguk...


Airmata masih mengalir deras dari kedua matanya yang bening...


Ibu...
Benar kata kakek...
Bahwa kau sangat menyayangiku...
Merindukan aku, kan buuu...


Buu...terimakasih...
Aku suka bingkisan pemberian ibu...


Buu...aku bahagia...
Saat kutahu bahwa aku masih memiliki ibu...
Seperti teman-temanku yang lain di sekolah...
Aku sangat bahagia, bu...


Aku selalu menunggu ibu...
Menunggu dekapanmu saat aku kedinginan...
Menunggumu membawaku mengelilingi dunia ini...
Menggenggam jemariku erat tak terpisah...


Ibu...
Buuu...
Aku pun sangat merindukanmu...
Aku ingin ibu selalu ada di dekatku...
Ingiiiiin sekali...


Percayalah buu...
Aku akan menjadi anak yang kuat dan tangguh...
Aku akan membuat ibu bangga...


Buuu...
Kin sayang ibu...








continue to -part 2-
                      

November 16, 2011

Buku Ini Aku Pinjam -4-








Sore itu cuaca sedikit mendung...


Maya berlari sekencangnya untuk sampai ke tempat dimana dia dan Hijiri janjian untuk bertemu.


Tunggu aku Hijiri...
Jangan pergi dulu...


Gadis mungil itu berharap dalam hati semoga cuaca kembali terang. Maya sangat ingin menyaksikan sinar senja bersama teman pria sekelasnya itu.


Ayo...cerahlah...
Tampakkan cerahmu...
Sinarmu yang menawan..
Cerahkan sore ini...
Aku mohoon...


Maya masih terus berlari hingga tiba di sebuah taman di dekat sekolahnya. Gadis itu menepuk dadanya dengan nafas yang terengah-engah.
Wajahnya sedikit pucat karena kelelahan. 


Namun matanya dengan cepat berputar ke sekitar taman tersebut. Maya menggigit bibirnya cemas jika Hijiri telah lama menunggunya. Langkah Maya terus menuju sebuah bangku di samping sebuah ayunan tua.


TIBA-TIBA...


"Kau baru tiba?" sebuah suara menyapanya dari belakang.


Maya terperanjat kaget karenanya. Dia tak bisa langsung menjawab pertanyaan Hijiri. Tubuhnya berbalik spontan dan mendapati sosok yang dia cari sudah berada tepat di hadapannya.


"Hijiri..." gumam Maya senang. 


Pipinya merona seketika tatkala mata mereka beradu. Maya menunduk malu. Begitupun Hijiri tampak salah tingkah. Tanpa bicara keduanya langsung duduk berdampingan di bangku tua tersebut.


Masih terdiam...


Baik Maya maupun Hijiri sepertinya masih menyusun kata untuk menjadi kalimat yang akan diutarakan. Hijiri mulai mencari ide...


"Bagaimana les mu di rumah Masumi? Pasti menyenangkan!" tanya Hijiri mengawali.


Kening Maya berkerut mendengar pertanyaan dari Hijiri. Dengan alis yang terangkat ke atas, gadis mungil itu mencoba mengatasi kegugupannya.


"Biasa saja, aku kan hanya menumpang. Lagipula Masumi terlalu unggul di atasku" jawab Maya sedikit kesal mengingat hal itu


Hijiri tersenyum geli mendengar jawaban Maya...


"Eeh, mengapa kau tersenyum seperti itu? Apa aku terlihat bodoh mengikuti les bersama Masumi?" Maya bertambah kesal.


Hijiri menatapnya lembut...


DEG!


Hati Maya terasa bergetar tak karuan. Jantungnya semakin kencang karena tatapan Hijiri.


Aduh....bagaimana ini?
Mengapa dia menatapku seperti itu?
Maya, ayo bertahanlah...
Tunjukkan bahwa kau tidak grogi karenanya...


Maya meremas jemarinya kikuk. Maya merasakan sedari tadi semua jemari itu dingin seperti es.


Hijiri menyadari kegugupan Maya. Hatinya bahagia melihat Maya grogi karena dirinya...


Maya...


Beberapa saat kemudian keduanya telah asyik mengobrol dari A hingga Z. Apapun mereka bicarakan, termasuk tingkah laku teman-teman mereka di sekolah. Begitupun para guru, tak luput dari obrolan mereka.


Keduanya tanpa canggung lagi seperti biasa. Maya sekali-sekali memukul manja pundak Hijiri, kala pria itu menggodanya. Begitupun Hijiri mencubit gemas pipi Maya yang putih. 


Maya begitu menikmati kebersamaannya bersama Hijiri sore itu. Tanpa terasa sore hampir berganti malam. Sekejap keduanya kaget dan kebingungan. 


"Maaf Maya, kau jadi terlambat pulang karenaku" kata Hijiri merasa bersalah.


"Aah tidak, aku yang ingin menghabiskan sore ini bersamamu, Hijiri" balas Maya sedikit gugup.


Sambil tersenyum dan melangkahkan kakinya, Maya dan Hijiri meninggalkan taman tersebut. Mereka berjalan berdampingan di senja itu, menyusuri trotoar jalanan menuju rumah Maya.


Hijiri dengan senang hati mengantar Maya pulang saat-saat senja menjelang malam itu. Udara mulai menusuk ke dalam tubuh keduanya. Hingga Hijiri melepaskan jaketnya untuk menutupi tubuh Maya yang kedinginan.


"Pakailah ini" kata Hijiri sambil memasangkannya.


Maya tertegun sejenak menatap Hijiri yang begitu perhatian padanya. Pipinya kembali merah...


Sambil terus menunduk, Maya mengenakan jaket itu senang...


Hangat...


Hingga langkah kaki keduanya berhenti di depan rumah sederhana. Maya menarik lengan Hijiri untuk mengajaknya masuk sebentar.


"Baiklah, aku akan masuk Maya. Tapi aku takut berhadapan dengan ibumu" ujar Hijiri kikuk.


"Tenang saja. Ibuku orang yang baik. Kau tak perlu khawatir seperti itu Hijiri!" kata Maya santai.


Ceekkkllk!!


Sementara pintu telah terbuka, Maya menoleh ke arah Hijiri yang agak lambat melangkahkan kakinya untuk masuk.


Hijiri berdiri kaku menatap lurus ke dalam rumah Maya. Matanya tak berkedip seperti melihat sesuatu yang membuatnya terkejut.
Maya pun mengalihkan pandangannya dari Hijiri..


Ternyata di dalam ruang tamu kecil rumahnya tersebut, sedang duduk Masumi yang asyik bercerita dengan ibunya.


Masumi...sedang apa dia di sini?


"Kau!" kata Maya sambil menunjuk Masumi dengan jari telunjuknya. Maya menggelengkan kepalanya heran...


"Maya, darimana saja kau? Masumi sudah dari tadi mencarimu" kata ibu Haru serius.


Kemudian dia melongok ke arah Hijiri yang berada di belakang Maya. Wajahnya tersenyum ramah pada Hijiri. Hijiri pun membalas senyuman itu dengan ragu.


"Ah...anak muda, apakah kau juga teman sekelas putriku ini?" tanya ibu Haru ingin tahu.


Hijiri mendekati kursi tamu Maya. Wajah kikuknya membuat Masumi geli dan terkikik lucu.


"Aaah...eh...iya" jawab Hijiri gugup.


Tampak tawa Masumi tertahan dengan jemari yang menutupi mulutnya.


Maya pun melototkan matanya melihat reaksi Masumi pada Hijiri. Masumi tertunduk...


Tak berapa lama, ketiganya duduk di ruangan kecil itu. Ibu Haru meninggalkan mereka begitu saja. Dia merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.


*****

Sejak kejadian itu, Masumi sepertinya mulai lebih memperhatikan hubungan Maya dan Hijiri. Entah mengapa rasa penasaran menggelayut di pikiran Masumi.

Hari itu...

Shiory mengumumkan dan mengundang seluruh teman sekelasnya untuk datang ke sebuah restorant di sabtu malam mendatang. Karena gadis anggun itu akan merayakan hari ulang tahunnya di sana.

"HHOORREEEE!!!" tentu saja pengumuman itu disambut riang oleh semua teman sekelas. 

"Wah, Shiory kau mengundang kami semua?" tanya Rei memastikan pengumuman Shiory.

Dengan senyum yang tulus, gadis cantik itu mengangguk dan menjawab:
"Iya, aku harap kalian datang semua ya!" ucap Shiory meyakinkan teman sekelasnya.

Hijiri langsung melirik Maya. Tak beda dengan Hijiri, Mayapun demikian. Senyum kecil tersungging dari bibir keduanya. Masumi yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Hijiri dan Maya, menangkap sinyal yang mencurigakan.

Hhmmm...pasti mereka pergi bersama...
Aku yakin itu!
Baiklah...terserah! Apa peduliku dengan kalian...
Aku tak peduli apapun tentang kalian!

Bertepatan dengan bel istirahat, Masumi pun keluar buru-buru dari kelasnya. Disusul oleh Shiory yang berusaha mendekati ketua kelasnya tersebut.

"Masumi, tunggu!" cegah Shiory tergesa.

Masumi berhenti dan menoleh ke arah Shiory dengan tersenyum manis pada gadis cantik itu..

"Shiory, ada apa? Aku hanya akan membeli sesuatu untuk kumakan" kata Masumi santai.


"Boleh aku ikut?" tanya Shiory penuh harap.


Tanpa menjawabnya, Masumi melanjutkan langkahnya, diikuti Shiory di sebelahnya.

Mereka pun berjalan menuju kantin sekolah yang terletak agak jauh dari kelas mereka. Sepanjang lorong, Shiory tak lepas memandangi teman pria di sebelahnya. Matanya tampak sangat terpesona oleh ketampanan Masumi.

Masumi...kau benar-benar tampan...
Apakah dia mengagumiku seperti aku mengaguminya?
Jantungku selalu lebih kencang berdetak bila berdekatan denganmu...
Apakah kau tahu itu, Masumi?

Setibanya di kantin mereka langsung memesan makanan kesukaan masing-masing.

Awalnya Masumi menatap ke beberapa meja di depannya, tanpa sengaja matanya menangkap Hijiri dan Maya yang sedang duduk berhadap-hadapan di sana. Mereka begitu menikmatinya, tampak keduanya tertawa membicarakan sesuatu yang tak dapat dia dengar.

Mereka....berdua lagi?
Kali ini sepertinya berbeda...
Huuuuhhft...mengapa selalu terpikir olehku...

"Hhhuuuthhfft" gumam Masumi tak sadar. 

Shiory heran menatap Masumi. "Ada apa Masumi?" tanyanya.

"Aah...tidak, aku hanya teringat sesuatu yang lupa aku kerjakan" jawab Masumi sekenanya. Lalu dia berdiri dan meninggalkan Shiory begitu saja.

"Eh...ih...Masumi! Tunggu! Bagaimana dengan pesanan kita?" tanya Shiory sembari tergesa mengejar Masumi yang sangat cepat berlalu dan mendekati sebuah meja.

Meja dimana Maya dan Hijiri duduk!

Maya dan Hijiri kaget dengan kedatangan Masumi yang tiba-tiba dan mengganggu acara makan siang mereka. 

"Kau lagi!" sapa Maya kesal memalingkan wajahnya dari Masumi.

"Apa aku mengganggu kalian?" tanya Masumi pura-pura tak mengerti.

"Ti..tidak Masumi, duduklah!" sahut Hijiri ramah.

Shiorypun duduk di samping Masumi. Makan siang kali ini sungguh luar biasa bagi Maya, namun Masumi menggagalkan nya menjadi biasa saja! Maya kesal sekali!


*****

Suatu Malam...


Maya baru saja akan tidur, ketika pintu rumahnya diketuk seseorang! Maya dan bu Haru serentak keluar kamar dan saling memandang sejenak.


Bu Haru melihat jam yang ada di dinding rumahnya. Waktu menunjukkan pukul 12.00!


"Siapa dan ada keperluan apa selarut ini?" desisnya cemas.


"Bu, biar aku yang buka" kata Maya serius. Sebersit muncul ketakutan dalam pikirannya.


"Tidak usah, sebaiknya kita tanyakan dahulu, sebelum kita bukakan pintu" usul bu Haru tenang.


Maya mengangguk...


"Siapa di luar? Dan mencari siapa?" kata Maya setengah berteriak.


Gadis itu menggenggam jemari ibunya. Bu Haru membalasnya erat. Keduanya mulai merasa ketakutan karena tidak ada jawaban sama sekali dari luar.


TOK...TOK...TOK!!!


Pintu kembali diketuk!


Maya dan bu Haru bertambah cemas dan takut. Mereka tidak pernah menerima tamu selarut ini. Maya merasa harus mencari bantuan. Gerakannya begitu cepat menyambar telepon di dekat meja ruang tamu.


"Siapa yang harus aku minta bantuan?" gumam Maya sambil menekan tombol-tombol telepon itu tak beraturan.


Melihat Maya yang tak keruan, bu Haru langsung mengambil alih telepon itu dari tangan Maya.


"Ibu tahu harus menghubungi siapa!" ujarnya yakin.


Tak berapa lama bu Haru sudah berbicara dengan seseorang di sebrang telepon itu.


Karena takut, Maya tak terlalu memperhatikan itu! Dia mengambil sebuah balok untuk berjaga-jaga.


Tok...tok...tok!!!


Ketukan itu masih terdengar dari balik pintu di luar sana. Maya dan bu Haru saling bertatapan ketakutan. Sepertinya keadaan jadi mencekam bagi keduanya.


Tiba-tiba...


Telepon rumah Maya berdering, Maya dan bu Haru sontak kaget. Deringan itu memecahkan suasana mencekam diantara keduanya.


Maya memegang dadanya lemas. Gadis mungil itu segera mengangkatnya...
"Halo..." sapa Maya. Namun tidak ada seorangpun yang menyapanya dari telepon itu.


Bu Haru mengambil telepon itu perlahan..


"Halo..." kata bu Haru dingin.


Setelah itu wajah bu Haru bertambah tegang. Kemudian dia berusaha menutupi pembicaraannya dari Maya. 
Tentu saja itu membuat Maya bertanya-tanya. Dahinya berkerut ingin tahu dengan siapa ibunya berbicara.


"Bu...siapa itu?" tanya Maya setengah berbisik.


Namun bu Haru hanya mengangguk tanpa menanggapi pertanyaan Maya. Maya kembali menjauh dari ibunya dan berjaga di depan pintu.


Kllikk!!


Setelah menutup telepon, bu Haru langsung masuk ke kamar tanpa mengatakan apapun kepada Maya. Maya yang masih ketakutan, menghambur mengejar sang ibu.


"Ibuuu...mau kemana? Bagaimana...bagai..." pertanyaan Maya terpotong karena pintu kamar ditutup ibunya.


BBLLAAMM!!!


"Uuuh...apa-apaan ini bu? Aku takut sendiri! Bu..." ucap Maya memelas karena takut.


"Sudahlah, pasti orang itu sudah pergi sekarang. Tidurlah!" kata bu Haru santai.


Tanpa sadar, suara ketukan itu sudah beberapa menit yang lalu berhenti. 


Maya masih berdiri di depan pintu kamar ibunya. Kaku dengan kaki yang masih gemetar.


TIBA-TIBA...


TOK! TOK! TOK!


Secepat kilat Maya membalikkan tubuhnya menatap pintu. Pikirannya kembali cemas. Tiba-tiba secarik kertas muncul perlahan dari celah di bawah pintu itu.


Langkah Maya ragu untuk melihat kertas apa itu. Perlahan dia menghampiri kertas tersebut dan dengan sigap dia menarik kertas itu lalu menjauh dari pintu.


Maya membacanya dengan raut yang khawatir:






~~~~~~~~~~

***Happy Birthday To Maya Kitajima***
**Tolong...buka hatimu untukku**

~~~~~~~~~~




Maya menatap pintu sembari kembali mendekati pintu itu setelah membaca kertas tersebut. Gadis mungil itu sekali lagi ragu untuk membukanya.


Hatinya berdegup kencang, penasaran siapa yang ada di balik pintu itu! Jantungnya mendadak kencang membuat pipinya memerah dan rasanya begitu panas.
Menghangatkan malam yang dingin...


Maya menelan ludahnya perlahan, tangannya mulai memutar pegangan pintu rumahnya.


KLLEK!!!


"Surprise!!!" sebuah suara yang sangat dikenalnya menyiramkan butiran-butiran salju ke wajahnya.


Maya mencoba mengelak namun wajahnya kini dipenuhi oleh butiran salju itu. Maya mengusap matanya pelan...


Di depannya berdiri seorang pemuda dengan senyuman yang sangat menawan. Membuat setiap gadis yang melihatnya pasti akan terpesona.


Maya terpelongo menatap pria di hadapannya! Dia tak menduga sebelumnya...


MASUMII...


Baru kali ini Maya terpukau pada pria itu! Selama ini tak pernah terbersit dalam hatinya akan pria itu. 


Bagaimana dia tahun ulang tahunku? 


Tepat di pergantian hari itu, Maya memang berulang tahun keesokan harinya. Rasa bahagia menyelimuti Maya mengingat bahwa ada seorang pria yang mengingatnya.


Terlebih malam-malam begini, Masumi rela melakukannya!


"Masumii..." desis Maya tak percaya. Mata keduanya masih saling menatap.


"Apa aku harus berdiri saja di sini?" goda Masumi.


Maya menjadi kikuk sejak tadi. Dirinya sangat senang dengan kejutan di hari ulang tahunnya. Bahagia...


Bahagia hingga tak mampu berkata-kata...


Maya mundur beberapa langkah dari depan pintu. Masumipun melangkah maju memasuki rumah Maya.


Mereka berdiri dan saling bertatapan kembali...


"Selamat ulang tahun, Maya Kitajima" ucap Masumi lembut sambil mengulurkan tangannya.


Maya tidak langsung menyambutnya. Wajahnya tertunduk dengan pipi yang merona...


"Terimakasih" jawab Maya singkat.


Masumi melongokkan wajahnya mendekati Maya...


DAG! DIG! DUG!


"Eeh..." desis Maya spontan.


"Ini!" Masumi memberikan sebuah bingkisan kepada gadis mungil itu.


"Untukku?" tanya Maya kemudian.


Masumi mengangguk dan tersenyum manis...


Tangan Maya pun pelan meraih bingkisan tersebut, dan bertanya:
"Mengapa harus selarut ini?" tanya Maya heran.


Masumi melekatkan tatapannya pada Maya. Maya sedikit mundur lagi karena itu...


"Karena aku ingin menjadi orang pertama yang mengucapkan dan merayakan ulang tahunmu, Maya" balas Masumi lembut.


DEG!!


Maya tak mengerti maksud dari ucapan Masumi, terlebih lagi kata-kata Masumi di secarik kertas itu...


'Tolong buka hatimu untukku'


Malam itu sikap keduanya tidak seperti biasanya. Maya begitu senang dengan kejutan yang diberikan Masumi padanya. Begitupun Masumi senang dengan sikap Maya yang menyambutnya dengan baik. Tidak mengusir ataupun marah seperti sebelumnya.


Mungkin udara malam yang dingin membuat hati keduanya menjadi dingin dan menjadi sangat berbeda.


Maya tak dapat memejamkan matanya malam itu. Kembali dia mengingat beberapa menit yang lalu dirinya merayakan hari kelahirannya berdua dengan Masumi, sang ketua kelas. Tertawa dan memakan blackforest yang dibawa Masumi bersamaan.


Hihihi...bagaimana mungkin?
Aku dan dia bisa melakukan itu?
Kami sangat akrab...
Mengapa dia berbeda dari biasanya?


"Masumi Hayami" gumam Maya mengutarakan lamunannya bersama Masumi malam itu.


Ada rasa bangga dan senang mendapat perhatian dari orang sepintar dan setampan Masumi. Gadis mungil itu mengingat kembali hari-hari yang lalu bersama Masumi. Selalu berprasangka buruk! Maya menggelengkan kepalanya tak percaya...


Mengapa dia bisa mengatakan itu padaku?
Selama ini kami...
Aku hanya seorang gadis bodoh...
Sedangkan dia?!


Dan aku?
Hehehee...mimpi...


Maya menggeleng lagi...


"Tidak-tidak....tidak mungkin..." gumamnya. Lalu..


"Tidak mungkin...dia..." 


Maya kembali mengingat kata-kata itu lagi...


"Tolong...buka hatimu untukku" gumam Maya.


"Apa artinya berkata seperti itu?"


"Aku tak mengerti!"


Raut wajahnya merona dan terlihat sangat bahagia. Malam itu Maya bukan saja bermimpi indah, tapi benar-benar mendapatkan kenyataan yang membuatnya akan terus bermimpi.


Tak terasa gadis mungil itu terpejam juga sambil terus mendekap secarik kertas yang diberikan Masumi tadi.


Tolong buka hatimu untukku...
Kata-kata terindah yang pernah kudengar...


Mimpipun berlanjut....





continue to -part 5-